Medialiputan6.com, Nabire, Papua Tengah – Matahari Nabire baru saja naik ketika puluhan anggota Pencakar Kode R berdiri berbaris di halaman Kantor BKPSDM Papua Tengah, Senin (29/9/2025). Dengan spanduk di tangan dan suara lantang, mereka datang dari delapan kabupaten, memikul satu tujuan: memperjuangkan hak Orang Asli Papua (OAP) agar mendapat prioritas dalam penerimaan CPNS.
Di tengah kerumunan, Korlap Yusak Nawipa mengambil pengeras suara. Suaranya bergetar, tapi tegas.
“Kami tidak akan membuka pemalangan sebelum ada solusi nyata dari BPKSDM!” katanya.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Sorak dukungan pecah, menguatkan semangat massa yang berdiri meski panas matahari mulai menyengat.
Dalam orasi panjangnya, Yusak menegaskan tiga poin penting. Pertama, pemalangan tetap dipertahankan hingga pemerintah memberi jawaban resmi. Kedua, jika formasi CPNS 2024 gagal mengakomodir Kode R, pemerintah wajib meneken MOU bersama sebagai landasan rekomendasi khusus untuk CPNS 2026. Ketiga, ia mendesak agar Gubernur, DPR Papua Tengah, MRP, dan Kapolres segera memfasilitasi audiensi resmi, sebagaimana diamanatkan Peraturan Kementerian PAN-RB Nomor 350 tentang prioritas OAP.
Seorang pemerhati Kode R, yang juga masyarakat asli Papua Tengah, maju ke depan. Kalimatnya sederhana, namun mengguncang hati banyak orang.
“Orang Papua itu bukan lemah, hanya saja tidak pernah diberi kesempatan. Kalau suara anak-anak Kode R diabaikan, suatu saat mereka hanya akan jadi penonton di tanah mereka sendiri,” ujarnya lantang.
Ucapannya membuat suasana hening sesaat. Beberapa peserta aksi menunduk, ada pula yang mengangguk sambil mengepalkan tangan. Kata-kata itu terasa seperti mewakili seluruh perasaan yang selama ini tertahan.
Di samping itu, terlihat aparat kepolisian dari Polres Nabire serta Polda Papua Tengah berjaga-jaga di sekitar lokasi. Kehadiran mereka bukan untuk menekan, melainkan memastikan aksi berjalan damai. Dengan pendekatan humanis, polisi beberapa kali terlihat berdialog dengan peserta aksi, mengingatkan mereka untuk tetap tertib dan menjaga situasi kondusif.
Meski semangat menyala, aksi itu bukan tanpa pengorbanan. Beberapa peserta jatuh pingsan karena kelelahan, ada pula yang pulang tanpa makan. Namun, mereka tidak menyerah.
“Kalau memang tidak bisa semua, setidaknya sebagian dulu. Ada tahapannya. Jangan sampai kosong, karena orang Papua terkenal tidak punya kesabaran. Kalau dibiarkan, bisa menjurus ke hal yang tidak diinginkan,” kata seorang peserta.
Mereka yakin, perjuangan hari ini adalah warisan untuk generasi berikutnya. Bukan semata soal kursi CPNS, tetapi tentang pengakuan bahwa orang Papua adalah tuan di tanahnya sendiri.
Aksi damai Kode R menjadi pengingat bahwa setiap anak Papua berhak diberdayakan, diberi kesempatan, dan hidup bermartabat. Di balik sorak, teriakan, dan peluh yang jatuh siang itu, tersimpan kerinduan akan keadilan.
Bagi mereka, aksi ini adalah jalan panjang menuju pengakuan. Harapan agar generasi Papua Tengah kelak bisa berdiri tegak, tidak lagi di pinggir, melainkan di garda depan pembangunan di tanah sendiri. (Aw)