Medialiputan6.com, Nabire, Papua Tengah – Suasana tenang menjelang pelepasan yudisium mahasiswa Universitas Wiyata Mandala (Uswim) Nabire berubah menjadi momen penuh makna dan keberanian. Di tengah semangat kelulusan, Dei Murib, salah satu mahasiswa yang akan dilepas pada Senin (07/10/2025), menyuarakan pernyataan sikap yang menggugah nurani banyak orang.
Tradisi slembang yudisium ajang bagi mahasiswa Papua untuk menulis pesan dan aspirasi sebelum kelulusan kali ini berubah menjadi ruang perjuangan. Melalui tulisannya yang kini viral di media sosial, Dei Murib menumpahkan isi hati tentang penderitaan masyarakat di Kabupaten Puncak, Papua Tengah.
Ia dengan tegas menolak keberadaan aparat keamanan yang dinilai memperburuk kondisi warga. “Ada yang ditembak, ada juga yang meninggal karena sakit di tanah pengungsian. Kami tidak bisa tinggal diam. Kita sekolah ini untuk siapa kalau orang tua kami mengungsi dan daerah kami terus berkonflik,” tulisnya dalam slembang yang penuh getaran emosional.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Dei menggambarkan penderitaan ribuan warga sipil dari lima distrik — Pogoma, Sinak Barat, Yugumoak, Gome, Gome Utara, dan Omukia — yang terpaksa meninggalkan kampung halaman karena operasi militer yang masih berlangsung.
Menurut hasil investigasi yang ia lakukan bersama rekan-rekannya, warga kini hidup berdesakan di tenda-tenda pengungsian. Setiap tenda dihuni antara 80 hingga 100 jiwa, tanpa cukup makanan, air bersih, atau obat-obatan.
“Masalah makan, minum, dan tidur nyenyak masih menjadi persoalan mendasar. Banyak yang sakit tapi tidak tertangani, bahkan ada yang meninggal di pengungsian,” tulisnya lirih.
Kisah itu menjadi cermin bahwa di balik angka dan laporan, ada wajah-wajah manusia yang sedang berjuang bertahan hidup di tengah konflik.
Selain soal kemanusiaan, Dei juga menyoroti dampak besar terhadap pendidikan anak-anak di Puncak. Sekolah-sekolah tutup, guru-guru mengungsi, dan anak-anak kehilangan masa depan.
“Anak-anak dari Puncak tidak bisa sekolah. Mereka trauma, lapar, dan tidak punya tempat tinggal. Bahkan di kota pun, makanan dan minuman sangat sulit dijangkau,” tulisnya dalam nada pilu.
Melalui kata-katanya, Dei mengingatkan publik bahwa konflik bukan hanya soal keamanan, tetapi juga tentang masa depan generasi Papua yang kini terancam padam.
Lebih jauh, Dei mengkritik pendekatan pemerintah yang selama ini terlalu militeristik. Menurutnya, pendekatan kekuatan tidak pernah menyembuhkan luka sosial, justru memperdalam penderitaan rakyat kecil.
“Atas nama kemanusiaan dan keadilan, saya dan kami anak muda Papua menolak keras keberadaan TNI-Polri di tanah Papua, khususnya di Kabupaten Puncak,” tegasnya dalam penutup slembang yang kini ramai diperbincangkan.
Unggahan Dei Murib langsung memantik resonansi publik. Banyak warganet memuji keberaniannya berbicara di momen yang biasanya diisi ucapan syukur dan doa kelulusan. Mereka menilai, suara Dei bukan sekadar kritik, melainkan panggilan nurani generasi muda Papua yang ingin melihat tanahnya damai dan bermartabat.
Sementara itu, laporan dari berbagai lembaga kemanusiaan menyebutkan bahwa situasi di Kabupaten Puncak masih berstatus darurat kemanusiaan. Ribuan warga masih mengungsi, bantuan belum merata, dan akses menuju lokasi terhambat kondisi keamanan.
Namun di tengah semua itu, semangat Dei dan mahasiswa lainnya menunjukkan bahwa harapan belum padam. Suara mereka menjadi pengingat bahwa perjuangan bukan selalu dengan senjata, tetapi juga dengan kata-kata dan keberanian untuk bersuara demi kemanusiaan.
Slembang bukan hanya tulisan perpisahan, tapi suara hati yang menembus dinding diam.
Itulah pesan moral dari seorang mahasiswa yang memilih bicara ketika banyak memilih diam. (*)


















