Medialiputan6.com, Nabire, Papua Tengah — Di bawah terik matahari yang menyengat, ratusan mahasiswa Universitas Satya Wiyata Mandala (USWIM) Nabire berdiri tegak di depan Kantor Rektorat. Mereka membawa spanduk dan poster bertuliskan seruan keadilan. Bukan dengan amarah, tetapi dengan tekad untuk memperjuangkan masa depan pendidikan yang lebih manusiawi.
Aksi yang dimulai sejak pukul 09.00 WIT itu menjadi simbol perlawanan damai terhadap aturan baru wisuda yang dinilai memberatkan mahasiswa.
Aksi yang digerakkan oleh mahasiswa dari berbagai fakultas itu berfokus menolak kewajiban pelunasan seluruh biaya kuliah dan pembangunan sebelum wisuda. Menurut mereka, kebijakan tersebut tidak mempertimbangkan kondisi ekonomi sebagian besar mahasiswa yang berasal dari pedalaman Papua Tengah.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Korlap Umum, Gideon Pigai, menyatakan bahwa aksi ini adalah bentuk perjuangan untuk menegakkan keadilan di dunia pendidikan. (20/10/2025)
“Kami datang dengan damai untuk memperjuangkan hak kami sebagai mahasiswa. Banyak teman kami sudah layak wisuda, tetapi tertahan karena masalah biaya,” ujarnya lantang di hadapan massa aksi.
Di sisi lain, Wakorlap Demianus Dawapa menegaskan bahwa aksi ini bukan bentuk perlawanan terhadap kampus, melainkan panggilan moral agar universitas kembali berpihak kepada mahasiswa.
“Kami ingin pimpinan kampus meninjau ulang kebijakan yang justru menambah beban. Pendidikan harus memerdekakan, bukan membatasi,” tegas Demianus dengan suara bergetar penuh keyakinan.
Semangat moral ini menggema di antara mahasiswa yang berdiri berjejer, mencerminkan kesadaran bahwa perjuangan akademik tidak hanya soal nilai, tetapi juga soal keadilan dan kemanusiaan.
Dalam orasi yang disampaikan bergantian, mahasiswa membacakan lima tuntutan utama mereka:
1. Meninjau dan mengubah aturan wisuda yang mewajibkan pelunasan penuh biaya sebelum prosesi wisuda.
2. Menolak kebijakan sepihak tanpa melibatkan perwakilan mahasiswa.
3. Menuntut transparansi pengelolaan dana kampus, khususnya biaya pembangunan.
4. Mendesak pembentukan forum dialog resmi antara mahasiswa dan pimpinan universitas.
5. Menjamin perlindungan hak-hak mahasiswa Papua Tengah dalam setiap kebijakan akademik.
Kelima poin ini menjadi simbol perjuangan kolektif mahasiswa untuk menciptakan sistem kampus yang transparan dan berpihak pada kepentingan bersama.
Manon Puja, salah satu perwakilan mahasiswa, menuturkan bahwa perjuangan ini melampaui persoalan wisuda semata.
“Kami ingin kampus menjadi tempat yang mendukung perjuangan mahasiswa, bukan menambah beban. Suara kami harus didengar,” katanya penuh keyakinan.
Sementara itu, Josia Sani menegaskan kesiapan mahasiswa untuk berdialog terbuka dengan pihak rektorat.
“Kami tidak ingin konfrontasi, kami ingin perubahan yang adil. Solusi harus lahir dari percakapan yang jujur,” ujarnya.
Suasana aksi berubah menjadi ruang solidaritas, di mana setiap orasi menggugah semangat kebersamaan lintas fakultas dan gender.
Merry Mote, salah satu mahasiswi yang turut berorasi, menyampaikan pesan tegas tentang kesetaraan perjuangan.
“Perempuan juga berjuang untuk hak pendidikan. Aturan ini menyulitkan semua mahasiswa tanpa pandang gender. Kami berdiri bersama untuk perubahan,” katanya.
Kehadiran perempuan di barisan depan memperlihatkan wajah baru pergerakan mahasiswa USWIM kuat, berani, dan setara.
Menanggapi aspirasi mahasiswa, Rektor USWIM Nabire, Petrus Tekege, S.H., M.H., menyampaikan apresiasi atas sikap kritis mahasiswa dan menegaskan kesiapannya untuk membuka ruang dialog.
“Kami menghargai aspirasi yang disampaikan oleh mahasiswa. Universitas akan meninjau ulang aturan wisuda dan mengundang perwakilan mahasiswa untuk berdiskusi bersama,” kata Rektor Petrus Tekege setelah menerima surat keputusan mahasiswa.
Pernyataan itu disambut dengan tepuk tangan mahasiswa sebagai sinyal awal terciptanya komunikasi yang lebih sehat antara kampus dan mahasiswa.
Aksi demonstrasi berjalan damai dan tertib dengan pengawasan keamanan kampus. Setelah menyerahkan surat keputusan resmi, para mahasiswa perlahan membubarkan diri. Meski langkah mereka meninggalkan halaman rektorat, semangat perjuangan masih menyala dalam dada setiap peserta aksi.
Mereka percaya, perubahan sejati lahir dari keberanian untuk bersuara bukan untuk melawan, melainkan untuk mengingatkan bahwa pendidikan sejatinya adalah ruang memanusiakan manusia. (Aw)